Sabtu, 04 Oktober 2014

PEMBAGIAN HUKUM

1. MENURUT SUMBERNYA


a) Hukum Undang-undang ialah hukum yang tercantum dalam peraturan perundangan.
b) Hukum Adat ialah hukum yang terdapat didalam kebiasaan masyarakat setempat.
c) Hukum Traktat ialah hukum yang ditetapkan oleh Negara didalam  suatu perjanjian
  Negara.
d) Hukum Yurisprudensi ialah hukum yang dibentuk oleh keputusan hakim.


2. MENURUT BENTUKNYA

a) Hukum Tertulis ialah hukum yang dicantumkan di berbagai peraturan perundangan.
b) Hukum Tidak Tertulis (Kebiasaan) ialah hukum yang masih hidup dalam keyakinan masyarakat yang tidak tertulis namun masih ditaati seperti suatu peraturan perundangan.

3. MENURUT TEMPAT BERLAKUNYA
a) Hukum Nasional ialah hukum yang berlaku di suatu Negara.
b) Hukum Internasional ialah hukum yang mengatur hubungan-hubungan hukum dalam dunia internasional.
c) Hukum Asing ialah hukum yang berlaku di Negara lain.
d) Hukum Gereja ialah kumpulan norma yang ada di gereja.

4. MENURUT WAKTU BERLAKUNYA
a) Ius Constitutum (Hukum Positif) ialah hukum yang berlaku sekarang bagi suatu masyarakat di wilayah tertentu.
b) Ius Constituendum ialah hukum yang diharapkan berlaku pada masa yang akan datang.
c) Hukum Asasi (Hukum Alam) ialah hukum yang berlaku dimana-mana di setiap waktu dan untuk setiap bangsa di dunia.

5. MENURUT CARA MEMPERTAHANKANNYA
a) Hukum Material ialah hukum yang mengatur kepentingan dan hubungan yang berupa perintah-perintah dan larangan.
b) Hukum Formal ialah hukum yang mengatur tentang bagaimana cara melaksanakan hukum material.

6. MENURUT SIFATNYA
a) Hukum yang Memaksa (Imperatif) ialah hukum yang dalam keadaan apapun dan bagaimanapun mempunyai paksaan mutlak.
b) Hukum yang Mengatur (Fakultatif) ialah hukum yang dapat dikesampingkan apabila pihak yang bersangkutan telah membuat peraturan sendiri.
 

 

ASAS-ASAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Asas adalah dasar atau sesuatu yang dijadikan tumpuan berpikir, berpendapat dan bertindak. Asas-asas pembentuk peraturan perundang-undangan berati dasar atau sesuatu yang dijadikan tumpuan dalam menyusun peraturan perundang-undangan. Padanan kata asas adalah prinisip yang berarti kebenaran yang menjadi pokok dasar dalam berpikir, berpendapat dan bertindak.

Dalam menyusun peraturan perundang-undangan banyak para ahli yang mengemukakan pendapatnya. Meskipun berbeda redaksi, pada dasarnya beragam pendapat itu mengarah pada substansi yang sama.
Maka ada beberapa asas peraturan perundang-undangan yang kita kenal, diantaranya:
1. Asas lex superior derogat legi inferior ;
2. Asas lex specialis derogat legi generalis ;
3. Asas lex posterior derogat legi priori ;
4. Asas undang-undang tidak boleh berlaku surut (non-retroaktif) / Asas Legalitas

maka dalam bagian ini penulis ingin menjelaskan tentang azas yang pertama yang dikenal juga dengan azas hirarki







 

1. ASAS LEX SUPERIOR DEROGAT LEGI INFERIOR

Adalah peraturan yang lebih tinggi mengesampingkan yang rendah (asas hierarki), Dalam kerangka berfikir mengenai jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan, pasti tidak terlepas dalam benak kita menganai Teori Stuffen Bow karya Hans Kelsen (selanjutnya disebut sebagai ”Teori Aquo”). Hans Kelsen dalam Teori Aquo mambahas mengenai jenjang norma hukum, dimana ia berpendapat bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan.Yaitu digunakan apabila terjadi pertentangan, dalam hal ini yang diperhatikan adalah hierarkhi peraturan perundang-undangan, misalnya ketika terjadi pertentangan antara Peraturan Pemerintah (PP) dengan Undang-undang, maka yang digunakan adalah Undang-undang karena undang-undang lebih tinggi derajatnya.Teori Aquo semakin diperjelas dalam hukum positif di Indonesia dalam bentuk undang-undang tentang pembentukan peraturan perundang-undangan.
Sekarang ini hirarki peraturan perundang-undangan di Indonesia menurut ketentuan UU No.12 Tahun 2011 adalah ; ” Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
 

    - Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
    - Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
    - Peraturan Pemerintah;
    - Peraturan Presiden;
    - Peraturan Daerah Provinsi; dan
    - Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

 

2. ASAS LEX SPECIALIS DEROGAT LEGI GENERALI

Adalah asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis). Contohnya, dalam pasal 18 UUD 1945, gubernur, bupati, dan wali kota harus dipilih secara demokratis. Aturan ini bersifat umum (lex generalis). Pasal yang sama juga menghormati pemerintahan daerah yang bersifat khusus (lex specialis), sehingga keistimewaan daerah yang gubernurnya tidak dipilih secara demokratis seperti Daerah Istimewa Yogyakarta tetap dipertahankan.

 

3. ASAS LEX PESTERIOR DEROGAT LEGI PRIORI

Asas Lex Posterior Derogat Legi Priori yaitu pada peraturan yang sederajat, peraturan yang paling baru melumpuhkan peraturan yang lama. Jadi peraturan yang telah diganti dengan peraturan yang baru, secara otomatis dengan asas ini peraturan yang lama tidak berlaku lagi.  Biasanya dalam peraturan perundangan-undangan ditegaskan secara ekspilist yang mencerminkan asas ini. Contoh yang berkenaan dengan Asas Lex Posterior Derogat Legi Priori : dalam Pasal 76 UU No. 20/2003 tentang Sisidiknas dalam Ketentuan penutup disebutkan bahwa Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, Undang-undang Nomor 48/Prp./1960 tentang Pengawasan Pendidikan dan Pengajaran Asing (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 155, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2103) dan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Tahun 1989 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3390) dinyatakan tidak berlaku.


4. ASAS LEGALITAS
 

Tiada suatu peristiwa dapat dipidana selain dari kekuatan ketentuan undang-undang pidana yang mendahuluinya.” (Geen feit is strafbaar dan uit kracht van een daaran voorafgegane wetteljke strafbepaling). asas legalitas yang mengandung tiga pengertian, yaitu:

    - Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu tidak terlebih dahulu dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang
    - Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi (qiyas)
    - Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut


 

Contoh yang berkenaan dengan Asas Legalitas

Keadilan bagi korban salah tangkap. Mereka kembali bisa menghirup kebebasan. Namun, fenomena itu lagi-lagi memperlihatkan betapa kerdilnya kedudukan warga di hadapan kekuasaan negara. Bagaimanapun, dalam negara demokrasi, keadilan dan kebenaran haruslah terbuka untuk setiap warga. Negara wajib melaksanakan asas legalitas, yaitu memberi ganti rugi dan merehabilitasi nama baik warga yang menjadi korban salah tangkap.
Kasus yang bertentangan dengan asas legalitas: putusan Mahkamah Agung No. 275 K/Pid/1982 tanggal Desember 1983, dalam perkara korupsi Bank Bumi Daya dengan terdakwa direktur Bank Bumi Daya, Raden Sonson Natalegawa. Terdakwa ternyata melakukan penyelewengan kewenangan dengan memberikan prioritas kredit kepada PT. Jawa Building, bergerak dibidang real estate, yang mana dilarang oleh BI berdasarkan surat edaran No. SE 6/22/UPK, tertanggal 30 juli 1983. Terdakwa ternyata menerima fasilitas yang berlebihan dan keuntungan lain dari pemberian kredit tersebut dari A Tjai alias Endang Wijaya.
Dalam kasus ini MA menerapkan ajaran perbuatan melawan hukum secara materiil dalam fungsi positif dalam putusannya No. 275 K/Pid/1982. Dalam putusan ini MA menyatakan bahwa “jika penyalahgunaan wewenang hanya dihubungkan dengan policy perkreditan direksi yang menurut Pengadilan Negeri tidak melanggar peraturan hukum yang ada sanksi pidananya, akan tetapi sesuai pendapat yang sudah berkembang dalam ilmu hukum, seharusnya hal itu diukur berdasarkan asas-asas hukum tak tertulis, maupun asas-asas yang bersifat umum menurut kepatutan dalam masyarakat”. Artinya walaupun tindakan penyelewengan tersebut tidak memenuhi rumusan delik namun bertentangan dengan rasa keadilan dan nilai-nilai ketertiban dalam masyarakat, perbuatan penyelewengan ini dapat dijatuhi pidana.
Walau pada dasarnya sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang positif ini bertentangan dengan asas legalitas yang menyatakan bahwa undang-undang harus merumuskan secara jelas dan rinci mengenai perbuatan yang disebut dengan tindak pidana (kejahatan, crimes), namun demi rasa keadilan dan nilai-nilai ketertiban di masyarakat MA memutuskan bahwa perbuatan penyalahgunaan jabatan dalam kasus ini termasuk dalam tindak pidana korupsi. Hukum bukan hanya undang-undang tertulis yang di sahkan oleh pejabat yang berwenang namun hukum itu juga merupakan perilaku yang berkembang di masyarakat. Karena keadaan dan perkembangan yang terjadi di masyarakat tidak selalu sesuai dengan apa yang telah dirumuskan dalam perundang-undangan.
Kasus lain yang bertentangan dengan asas legalitas: tindakan Menteri Hukum dan HAM Amir Samsuddin dan wakilnya Denny Indrayana yang menunda penundaan permohonan bebas bersyarat Paskah Suzetta melanggar hukum. Apa yang dilakukan Amir dan Denny adalah jelas-jelas melanggar hukum, dan tidak sepatutnya dilakukan dalam sebuah negara hukum negara hukum menjunjung tinggi asas legalitas: tidak ada tindakan dari aparatur negara boleh dilakukan bertentangan dengan norma hukum yang berlaku.
Kasus yang baru-baru ini bertentangan dengan asas legalitas : kakus prita mulyasari.  Aparat penegak hukum membidik Prita dengan pasal 27 mengenai pencemaran nama dalam UU ITE yang ancaman maksimum penjara selama 6 tahun. Pasal ini, walaupun oleh MK telah dinyatakan bersifat konstitusional, tetap saja ketentuan ini tidaklah diperlukan karena pengaturan mengenai pencemaran nama sudah diatur dalam banyak pasal di KUHP. Adanya Pengaturan pasal ini bagi penulis bersifat over-kriminalisasi, karena memang substansinya telah diatur secara jelas dalam KUHP.

    Sepertinya pembuat Undang-Undang perlu memperhatikan bahwa dalam tataran teoritik, pengaturan di luar KUHP baru dimungkinkan apabila tidak ada delik genus dalam KUHP yang menjadi cantolan delik yang baru karena kejahatan tersebut benar-benar kejahatan baru yang tidak ada padanannya dalam KUHP. Jika ada ketentuan genus-nya dalam KUHP maka cukup dilakukan dengan cara mengamandemen KUHP. Perkembangan asas-asas hukum pidana dalam peraturan perundang-undangan di luar KUHP tersebut telah menyimpang terlalu jauh dari KUHP karena telah mengatur substansi hukum yang secara diam-diam membentuk sistem hukum pidana sendiri yang berbeda dengan dan tidak terkontrol atau tidak terkendali oleh asas-asas umum hukum pidana buku satu KUHP, padahal sesuai dengan prinsip kodifikasi buku satu KUHP memuat ketentuan umum hukum pidana nasional yang semestinya menjadi dasar dan landasan dalam mengembangkan hukum pidana dalam pengaturan perundang-undangan di luar KUHP. Pengulangan pengaturan perbuatan yang dilarang ini bertentangan dengan asas kepastian hukum dan kejelasan rumusan atau asas legalitas

KAIDAH HUKUM

PENGERTIAN KAIDAH HUKUM

Kaidah Hukum berasal bahasa Dari dua Kata , yakni : kaidah Dan Hukum . Kaidah berarti perumusan asas - asas bahasa Dari Yang menjadi Hukum , ANTARA Yang pasti, patokan , dalil Dalam, Ilmu Pasti . Sedang Hukum SENDIRI berarti diatur dalam peraturan Yang dibuat Dan disepkati BAIK secara tertulis meupun tidak tertulis , diatur dalam peraturan , undang - undang Yang mengikat prilaku setiap 'masyarakat tetentu . Bahasa Dari Sini dapt di kemukakan bahwa keberlakuan tingkah laku didalm 'masyarakat . Kaidah Hukum merupakan ketentuan tentang prilaku . FUNDS hakikatnya Apa Yang dinamakan kaidah adalah par value KARENA Berisi Apa Yang " seyogyanya " Harus dilakukan . Sehingga harus dibedakan Bahasa Dari diatur dalam peraturan konkrir Yang dapat dilihat Dalam, bentuk Kalimat - Kalimat . Kaidah Hukum dapat berubah SEMENTARA undang - undang nya ( PERATURAN konkritnya ) Tetap ( lihat ps - 1365 Bw ) .



 

ISI KAIDAH HUKUM
 

1.  Perintah (Obligatter) ialah ketentuan umum untuk melakukan sesuatu.
 

Contoh :
A. Pasal 1 UU No. 1 tahun 1974 menentukan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara pria dan wanita yang mempunyai tujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

B. Pasal 50 BW Semua orang yang hendak melangsungkan perkawinan, harus memberitahukan hal itu kepada Pegawai Catatan Sipil di tempat tinggal salah satu pihak.

C. Pasal 208 BW Perceraian perkawinan sekali-kali tidak dapat terjadi hanya dengan persetujuan bersama.


2. Larangan (Prohibere) ialah ketentuan umum untuk tidak melakukan sesuatu.
 

Contoh :
A. Pasal 8 UU No. 1 tahun 1974 mengenai larangan perkawinan antara dua orang pria dan wanita dalam keadaan tertentu.

B. Pasal 30 BW Perkawinan dilarang antara mereka yang satu sama lainnya mempunyai hubungan darah dalam garis ke atas maupun garis ke bawah, baik karena kelahiran yang sah maupun karena kelahiran yang tidak sah, atau karena perkawinan; dalam garis ke samping, antara kakak beradik laki perempuan, sah atau tidak sah.

C. Pasal 6 BW Tak seorang pun diperbolehkan mengganti nama keturunannya, atau menambahkan nama lain pada namanya tanpa izin Presiden. Barang siapa nama tidak dikenal keturunan atau nama depannya, diperbolehkan mengambil suatu nama keturunan atau nama depan, asalkan dengan izin Presiden.


3. Kebolehan (permittere) ialah ketentuan khusus untuk tidak melakukan sesuatu yang diharuskan.
 

Contoh :
A. Pasal 29 UU No. 1 tahun 1974 mengenai perjanjian perkawinan, yakni pada waktu perkawinan atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua belah pihak dapat / boleh mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan.

B. Pasal 29 BW Laki-laki yang belum mencapai umur delapan belas tahun penuh dan perempuan yang belum mencapai umur lima belas tahun penuh, tidak diperkenankan mengadakan perkawinan. Namun jika ada alasan-alasan penting, Presiden dapat menghapuskan larangan ini dengan memberikan dispensasi.

C. Pasal 992 BW Suatu wasiat, baik seluruhnya maupun sebagian, tidak boleh dicabut, kecuali dengan wasiat yang lebih kemudian, atau dengan suatu akta Notaris yang khusus, yang mengandung pernyataan pewaris tentang pencabutan seluruhnya atau sebagian wasiat yang dulu, tanpa mengurangi ketentuan Pasal 934.



SIFAT KAIDAH HUKUM

1. Kaidah Hukum imperatif (dwingendrecth) adalah hukum yang memaksa,yang bisa di artikan juga merupakan hukum yang dalam keadaan kongkret harus dita’ati atau hukum yang tidak boleh di tinggalkan oleh para pihak dan harus diikuti.
Ketentuan-ketentuan yang bersifat memaksa itu berlaku bagi para pihak yang bersangkutan maupun hakim sehingga hukum itu sendiri harus diterapkan meskipun para pihak mengatur sendiri hubungan mereka.

Contoh :
A. Pasal 913 BW Indonesia yang berbunyi: ”Legitieme portie atau bagian warisan menurut undang-undangialah suatu bagian dari harta benda yang harus di berikan kepada ahli waris dalam garis lurus menurut undang-undang, yang terhadapnya orang yang meninggal dunia tidak boleh menetapkan sesuatu,baik sebagai hibah antara orang-orang yang masih hidup maupun sebagai wasiat”.

B. Pasal 338 KUHPidana yang berbunyi : Barang siapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain, dihukum, karena maker mati, dengan hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun.

C. Pasal 147 KUHPerdata yang berbunyi : Atas ancaman pembatalan, setiap perjanjian perkawinan harus dibuat dengan akta notaries sebelum perkawinan berlangsung. Perjanjian mulai berlaku semenjak saat perkawinan dilangsungkan; lain s aat untuk itu tak boleh ditetapkannya.

D. Pasal 285 KUHPidana yang berbunyi : Barang siapa dengan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan istrinya bersetubuh dengan dia, dihukum, karena memperkosa dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun.

 

2. Kaidah Hukum Fakultatif (aanvullendrecht) adalah hukum yang mengatur, yang bisa di artikan juga sebagai hukum pelangkap yang artinya dalam keadaan kongkret,hukum tersebut dapat di kesampingkan oleh perjanjian yang diadakan oleh para pihak dan dengan kata lain ini merupakan hukum secara apiori tidaklah mengikat atau wajib di ta’ati.

Contoh :
A. Pasal 119 KUHPerdata yang berbunyi ”Mulai saat perkawinan dilangsungkan,demi hukum,berlakulah persatuan bulat antara harta kekayaan suami dan harta kekayaan istri,sekadar mengenai itu dengan perjanjian kawin tidak di adakan ketentuan lain. Persatuan itu sepanjang perkawinan tak boleh di tiadakan atau di ubah dengan sesuatu persetujuan antara suami dan istri”.(di kutip dari ”Dasar-Dasar Ilmu Hukum” Ishaq SH.M Hum).

B. Pasal 1477 KUHPerdata yang berbunyi:: :Penyerahan harus terjadi ditempat dimana barang yang terjual berada pada waktu penjualan, jika tentang itu tidak telah diadakan persetujuan lain.

C. Pasal 60 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, mengenai perjanjian kerja waktu tidak tertentu dapat mensyaratkan masa percobaan 3 (tiga) bulan. Ketentuan ini juga bersifat mengatur oleh karena pengusaha bebas untuk menjalankan masa percobaan atau tidak ketika melakukan hubungan kerja waktu tidak tertentu/permanen.

D. Undang-Undang no. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Misalnya :
   Pasal 35 yang berbunyi :
   (1) Pemberi kerja yang memerlukan tenaga kerja dapat merekrut sendiri tenaga kerja yang dibutuhkan atau melalui pelaksana penempatan tenaga kerja.
   Pasal 92 yang berbunyi :
   (2)pengusaha melakukan peninjauan upah secara berkala dengan memperhatikan kemampuan perubahan produktivitas.

E. Pasal 1303 yang berbunyi "Tiap ahli waris kreditur dapat menuntut pelaksanaan suatu perikatan yang tak dapat dibagi-bagi secara keseluruhan. Tiada seorang pun di antara mereka diperbolehkan sendirian memberi pembebasan dari seluruh utang maupun menerima harganya sebagai ganti barang. Jika hanya salah satu ahli waris memberi pembebasan dari utang yang bersangkutan, atau menerima harga barang yang bersangkutan, maka para ahli waris lainnya tidak dapat menuntut barang tak dapat dibagi-bagi itu, kecuali dengan memperhitungkan bagian dari ahli waris yang telah memberikan pembebasan dari utang atau yang telah menerima harga barang itu".



BENTUK KAIDAH HUKUM

 
1. Tidak tertulis ialah hukum yang tumbuh dan berkembang di masyarakat (adat dan kebiasaan).

 
Contoh :
A. Dalam hal jual beli atau sewa menyewa terdapat pihak penghubung (makelar) yang selalu mendapat komisi atau persen dari hasil usahanya menghubungkan antara penjual dengan pembeli. Meskipun hal ini tidak diatur di dalam hukum tertulis, namun dalam kenyataannya praktik pemberian komisi selalu dipatuhi oleh masyarakat.

B. Di Papua yang diberlakukan kepada seseorang yang mengakibatkan seseorang meninggal dunia dalam kecelakaan lalu lintas adalah diminta untuk mengganti kerugian dengan uang dan ternak babi. Jumlah yang diminta dalam penggantian kerugian tersebut relatif besar sehingga bisa dipastikan akan memberatkan pelaku untuk membayar biaya ganti rugi dalam bentuk kas dan ternak babi.


2. Tertulis ialah hukum yang tertuang didalam peraturan, perundang-undangan, dsb.
 

Contoh :
A. Undang-undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 (UUD 1945).
B. Peraturan Presiden (Perpres).
C. Peraturan Pemerintah (PP).
D. Peraturan Daerah (Perda).
E. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu).
F. Keputusan Presiden (Keppres).
G. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap. MPR).
H. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHPidana).
I. Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata).
J. Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAPidana).
K. Kitab Undang-undang Hukum Acara Perdata (KUHAPerdata).
L. Buergerlijk Wetboek (BW).